-->
Pasang Iklan Disini

Sunday, October 4, 2015

CERITA PRABU SILIWANGI ( BABAD CIREBON )

KERAJAAN PADJADJARAN



Di sebuah kerajaan bernama kerajaan Padjadjaran,hiduplah seorang raja yang arif dan bijaksana yang bernama Sri Ratu Dewata Wisesa, yang lebih dikenal Sri Mahaprabu Siliwangi. Memiliki 3 orang istri yaitu Nyi Ambetkasih, Permaisuri Ratu Subanglarang, dan Nyai Aci Bedaya dan dikaruniai 3 orang anak.

Sang Prabu bersabda, "Hai anakku Walangsungsang, aku perhatikan nampaknya engkau sedang bersedih. Apa yang kau pikirkan, bukankah engkau calon Prabu Anom memangku negara? atau engkau menginginkan seorang putri? katakanlah apa yang sebenarnya kau inginkan. Jangan engkau bersedih hati, karena itu akan berpengaruh buruk bagi keraton. Sang putra menjawab dengan menundukan kepala dan mengeluarkan air mata, "Duhai Gusti Prabu, murka dalem yang hamba mohon, karena tadi malam hamba mimpi bertemu dengan seorang lelaki yang elok dan agung  memberi wejangan agama islam ajaran Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi utusan Yang Widi. Namun menyesal sekali karena belum tuntas hamba sudah terjaga. Sekarang hamba rindu sekali dengan agama islam, mengingat tidak adanya guru untuk meneruskan pelajaran agama islam itu."

Sang Prabu berkata sambil tersenyum, "Walangsungsang, engkau masih muda masih belum faham, engkau kena sihir, kena bius Muhammad yang mengaku anutan, yang jadi tutsan Yang Widi. Sungguh ucapannya hanyalah dusta belaka, karena sesungguhnya anutan itu adalah Yang Brahma Yang Wisnu, itu sesungguhnya agama Dewa yang mulia. Yang Jagad Nata, Pangerannya orang setriloka. Sejak dahulu hingga sekarang, para leluhur tidak menghendaki dirubah. Walangsungsang menjawab sambil menyembah, "Duhai Gusti mohon ampunan Dalem, pengertian, kebijaksanaan dan pemaafan Dalem yang hamba mohonkan, karena hamba lebih condong ( tertarik ) dengan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad dan sesungguhnya Illahi yang wajib disembah itu melainkan ALLAH yang tiada sekutu sesama yang baharu (makhluk)."

Sang Prabu pun murka, karena sang putra tidak patuh, bertentangan dengan agamanya. Sang putra dimarahi dan diusir dari keraton Padjadjaran. Walangsungsang pun merasa lega, Ia segera pamit dan menghindar dari hadapan Sang Prabu, terus berjalan masuk hutan keluar hutan, naik gunung turun gunung menuju ke arah timur. Ratu Mas Rarasantang merindukan kakaknya, Walangsungsang. Menangis siang malam selama empat hari, Suatu ketika Rarasantang mimpi bertemu dengan seorang lelaki Ksatria yang berbau harum memberi pelajaran agama islam, menyuruhnya berguru untuk mempelajari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad dan diramalkan kelak akan mempunyai suami Ratu Islam dan akan mempunyai anak lelaki yang punjul ( memiliki kelebihan ). Rarasantang segera terbangun, ingat dengan mimpinya lalu Ia pun pergi meninggalkan keraton untuk menyusul kakaknya, Raden Walangsungsang.

Keadaan di keraton pun menjadi geger busekan (panik), karena sang putri menghilang tanpa jejak. Sang Prabu amatlah sedih karena kedua putranya telah menghilang, lalu Ia pun memanggil semua pasukan, patih, bupati, para wadyabala dikumpulkan. Sang Prabu berkata, "Hai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putraku, Dewi Rarasantang hilang dari keraton dan Walangsungsang disuruh pulang. Sungguh jangan tidak teriring keduanya." Patih Argatala pun menjawab "Sandika Gusti Prabu." Ia segera keluar dari keraton dan mengumumkan kepada seluruh pasukan untuk segera menyebar ke segala penjuru arah. Patih Argatala mencarinya dengan jalan bertafa mengikuti perintah pendeta. Dipati Siput mencarinya kedalam hutan mengikuti perjalanan hewan. Seluruh pasukan berpencar  ke segala arah, mereka tidak berani pulang sebelum keduanya ditemukan.

GUNUNG MERAPI

Dikisahkan, setelah Pangeran Walangsungsang sampai di kaki gunung Merapi (di Raja Desa, Ciamis Timur), ia sedang tafakkur menyendiri. Tak lama kemudian datanglah Sanghyang Danuwarsih dan berkata pada Pangeran Walangsungsang: “Hai anak muda, siapakah engkau dari mana, dan apa tujuan yang kau kehendaki?”
Pangeran Walangsungsang menjawab: “Walangsungsang namaku, putra raja Padjadjaran. Ibundaku bernama Ratu Subang Larang. Aku kesini bertujuan untuk berguru agama Islam.”
Berkata Sanghyang Danuwarsih: “Baik, sekarang ikuti aku ke puncak gunung Merapi.”
Pangeran Walangsungsang patuh kepada Sanghyang Danuwarsih dan mengikutinya menuju puncak gunung Merapi. Setibanya di puncak Merapi, Sanghyang Danuwarsih menyuruh putrinya, Nyi Indang Ayu, untuk menyiapkan jamuan yang lezat. Sanghyang Danuwarsih kemudian menikahkan Nyi Indang Ayu dengan Pangeran Walangsungsang, lalu berlangsunglah perkawinan antara kedua mempelai itu dengan cara-cara perkawinan yang berlaku saat itu.
Alkisah, Nyi Mas Rarasantang setelah menempuh perjalanan yang melelahkan ia beristirahat di bawah pohon beringin menggosok-gosok kakinya yang bengkak. Pakaiannya telah kumal dan compang-camping. Ia duduk sambil memanggil-manggil nama kakak yang dicintainya. Belum berapa lama Nyi Mas Rarasantang beristirahat di bawah pohon beringin, tiba-tiba datanglah seorang nenek tua yang bernama Nyi Endang Sukati dan langsung menegurnya: “Wahai anakku, siapa namamu dan mengapa engkau sendirian tanpa kawan?”
Nyi Mas Rarasantang menjawab: “Eyang, saya putri raja Padjadjaran dari ibu Ratu Subang Larang, hamba sampai kemari untuk mencari kakanda Walangsungsang. Sudilah kiranya eyang mempertemukan hamba dengannya.”
Endang Sukati menjawab: “Anakku, eyang tidak tahu di mana adanya kakandamu, tapi cobalah ke gunung Liwung temuilah Ki Ajar Sakti, mudah-mudahan kamu menemukan petunjuk darinya, dan terimalah ini pusaka bernama Baju Hawa Mulia, baju ini dapat berguna apabila engkau berjalan di atas air maka tidak tenggelam, apabila engkau terkena api niscaya engkau tidak terbakar.”
Lalu dipakailah seraya berucap teimakasih dan tidak begitu lama dalam perjalanan sampailah Nyi Mas Rarasantang di gunung Liwung di hadapan Ki Ajar Sakti. Ia menyungkemi kakinya seraya memohon petunjuk tentang keberadaan kakaknya, Pangeran Walangsungsang.
Ki Ajar Sakti yang waspada itu segera tahu maksud sang putri, ia menjawab: “Anakku, kakakmu Walangsung sudah menikah dengan Indang Ayu, untuk menemui kakakmu datanglah ke gunung Merapi dan mulai hari ini namamu Ratna Eling, dan kelak di kemudian hari kamu mempunyai anak laki-laki punjul sebuana.”
Kemudian Nyi Mas Rarasantang berpamitan kepada Ki Ajar Sakti untuk melanjutkan perjalanannya mencari sang kakak. Hari itu Pangeran Walangsungsang sedang keluar rumah dan turun gunung, demi melihat adiknya yang sedang berjalan di bawah, maka Pangeran Walangsungsang segera merangkulnya dengan penuh rasa kangen dan kasihan, ia berkata: “Duhai adikku, sungguh bahagia engkau masih bisa bertemu dengan kakakmu ini, apa gerangan yang menyebabkan adik menyusul, tidakkah engkau senang tinggal di keraton, dan engkau dapat petunjuk dari siapa?”
Nyi Mas Rarasantang menjawab pertanyaan kakaknya sambil menangis tersedu-sedu dan dijelaskannya segala sesuatu yang dialaminya mulai dari ia keluar dari keraton hingga ia berjumpa. Sedang enaknya bercakap-cakap sambil melepas rindu, tiba-tiba datanglah Sanghyang Danuwarsih bersama Nyi Indang Ayu, dan Sanghyang Danuwarsih berkata: “Hai putraku, itu perempuan siapa berangkulan bertangisan denganmu itu?” Pangeran Walangsungsang menjawab: “Sungguh ini adikku, saudari kandung hamba seayah seibu, Rarasantang namanya.” Mendengar penjelasan dari Pangeran Walangsungsang, segera Indang Ayu memeluk adik iparnya dengan penuh rasa haru.
Dikisahkan, pada suatu hari Pangeran Walangsungsang sedang tafakkur dan di hadapannya Sanghyang Danuwarsih memperhatikannya, beliau tahu bahwa maksud Pangeran Walangsungsang hendak mencari agama Islam dan belum berhasil, sedangkan ia sendiri tidak bisa memberi keterangan tentang itu, maka ia hanya bisa memberikan kepada Pangeran Walangsungsang agar tercapai cita-citanya yaitu empat buah azimat yang berupa:
  1. Azimat Cincin Ampal (penerawangan);
  2. Azimat Kamamayan (melumpuhkan);
  3. Aimat Pangabaran (panglulut);
  4. Azimat Pengasihan.
Ke empat azimat pusaka itu diterimanya dan empat azimat ini kelak dikemudian hari akan diterangkan oleh gurumu. Pangeran Walangsungsang menyampaikan terimakasih, lalu Sanghyang Danuwarsih memberikan petunjuk kepadanya agar ketiganya berguru kepada Sanghyang Nanggo yang berada di gunung Ciangkup. Pangeran Walangsungsang mematuhi perintah sang rama dan segera memasukan adik dan isterinya ke dalam Cincin Ampal, ia pamit untuk bergegas menuju gunung Ciangkup.

Gunung Ciangkup


 Setelah sebulan lamanya Ki Sangyang berkata, "Hai Putraku semua marilah berkumpul."  ketiganya sudah dihadapan Sang Danuwarsih, Ia pun berkata, " Hai Walangsungsang, Indang ayu dan Rarasantang, sekarang baiknya kalian berguru kepada sanghyang Nanggo di Gunung Ciangkup, mudah - mudahan kalian mendapat ilmunya. "

Sang putra mematuhi perintah Kanjeng Rama, sang istri dan sang adik sudah dimasukan kedalam cincin Ampal. Ia segera pamit dan terus berjalan, akhirnya sampai di gunung Ciangkup bertemu dengan Sanghyang Nanggo, lalu Ia berkata, " Hai Walangsungsang, aku tidak tahu agama Islam, nanti sebentar lagi engkau mendapatkannya, aku akan memberimu ilmu kedewaan dan menghilang, kekuatan, kekebalan terimalah  pemberianku, Golok cabang pusaka para leluhur terimalah. Ini golok bisa bicara bahasa manusia dan bisa terbang dan bisa mengeluarkan api, tiap - tiap yang terkena olehnya niscahya lebur, sekalipun dewa tidak akan tahan, gunung ambruk dan laut kering." Walangsungsang mengucap terimakasih atas ilmu pemberian gurunya."

Gunung Cangak

 Sanghyang Naga berkata, "Engkau sekarang pergilah berguru ke gunung Cangak, disitu engkau akan dapat petunjuk perihal agama islam, namun diakali dulu Ratunya Bangau hingga sampai tertangkap. "setelah sebulan lamanya Walangsungsang mohon pamit segera menuju ke Gunung Cangak.

Diceritakan yang berada digunung Cangak dipohon beringin besar rombongan burung - burung bangau banyak sekali berhinggap. Walangsungsang terheran - heran melihat sedemikian banyak burung - burung bangau berseliweran dan bingung yang mana jadi ratunya. Segera ia memakai paci waring dan mengeluarkan sebuah wadah yang berisi ikan deleg (gabus) diletakan dipohon. Karena ampuhnya aji panurutan Sang Nata bangau segera turun, bertubuh lebih besar dari sesama burung bangau. Ikan deleg (gabus) didalam wadah/perangkap lalu dipatuknya. Cepat Walangsungsang menangkap leher Sang Nata bangau sambil diancam dengan golok cabang diatas lehernya. Sang Nata bangau berteriak tolong - tolong minta dilepaskan. Ia berkata, "hai manusia anda orang punjul, biarkanlah aku hidup, nanti anda aku beri pusaka warna tiga, panjang, pendil, bareng/bende." Lalu Sang Nata bangau dilepaskan, lalu ia terbang sambil berkata, "Hai manusia susulah aku dipuncak gunung ini yang ada dipohon beringin."
Walangsungsang segera menyusul, Sang Nata bangau lenyap setelah datang dipohon beringin dipuncak gunung itu, Walangsungsang kebingungan. Tak lama kemudian hilanglah wujud pohon beringin itu salin rupa menjadi sebuah kraton indah sekali.

Walangsungsang sedang melongo keheranan melihat ada keraton, tak lama kemudian lalu ada 40 orang anak - anak bule menghidangkan jamuan sambil menyilahkan duduk disebuah permadi emas.

Walangsungsang sedang enak-enaknya duduk sambil makan dan minum, tak lama kemudian datanglah Sang pendeta Luhur duduk sejajar.

Walangsungsang berkata,"Hai pendeta, anda siapa yang bertamu dihadapanku ?" Ki pendeta menjawab, "Sanghyang bangau namaku yang membangun kayuwangan digunung Cangak, fardhu memenuhi janji memasrahkan jimat pusaka yang warna tiga, ialah panjang, pendil dan bareng/bende. Piring panjang berwatak  tidak berisi lalu mengisi sendiri lengkap segela - galanya, nasi kuning, lauk pauk selalabnya dan sejuk pribawanya kepada kawula warga, cukup sandang, pangan , papan. Pendil berwatak kalau dikeruk nasinya bisa untuk memberi makan dua tiga negara. Bareng/bende wataknya keluar air banjir, suaranya membingungkan musuh. Diterima sudah jimat yang warna tiga,Walangsungsang mengucap terima kasih dan berguru kepada Ki Pendeta sebulan lamanya.

Gunung Jati

Walangsungsang mohon pamit hendak meneruskan niatnya mencari agama Islam ajaran  Kanjeng Nabi Muhammad. Ki pendeta berkata,"Hai putraku, pergilah ke gunung Jati, Syekh Nurjati namanya, asal dari Mekah, yang sedang bertapa tidur, dialah yang empunya agama Islam ajaran Kanjeng Nabi Muhammad."

Walangsungsang langsung pamit menuju Gunung Jati, sampailah dia dihadapan Syekh Nurjati. Sang istri dan sang adik lalu dikeluarkan dari cincin Ampal disuruh sujud menghaturkan hormat. Ki Syekh Nurjati segera terbangun melihat tiga orang tamu. sambil senyum ia berkata, "Hai tiga orang muda dihadapanku dengan memberi hormat, apa kemauan kalian, asal dari mana, nama kalian siapa?" Berkata Walangsungsang, "Hamba hendak berguru agama Islam ajaran Kanjeng Nabi Muhammad, bersama adik kandung hamba Rarasantang, putri Pajajaran, adapun istri hamba Indangayu namanya, putri gunung Merapi Sanghyang Danuwarsih, hamba bernama Walangsungsang. "Syekh Nurjati berkata, "Bagaimana mulanya orang budha dan putra Raja menghendaki Islam dan dapat petunjuk dari siapa tahu kepada gunung Jati?" Walangsungsang menceritakan sesunggunya lantaran mau Islam dari awal hingga akhir. Ki Syekh segera memberi wajengan kepada ketiganya mengucap kalimat dua syahadat, salawat dan dhikir, jakat fitrah, dan naik haji, puasa bulan Ramadhan, salat lima waktu dan diwejang Al-Qur'an, kitab Fikih dan Tasawuf, sudah dipatuhi semua apa yang diajarkan dan diperintahkan oleh guru. Walangsungsang, Indangayu, Rarasantang sudah lama berguru,tekun sekali, dan selalu patuh kepada Guru. Ki Syekh pun memanggil, "Hai  Walangsungsang, engkau aku berinama Somadullah."

Kebon Pesisir Lemah Wungkuk

Tidak lama kemudian Ki Syekh berkata, "Somadullah, sekarang aku perintahkan untuk babakyasa, membangun sebuah pemukiman dimulai pada hari Ahad tanggal 1 bulan sura," pada tahun 1367/1445 M.
Somadullah mematuhi perintah gurunya, tak lama kemudian Ia pun segera pamit, Ia pergi ke arah selatan menyusuri pinggir pantai bersama sang istri dan sang adik. Lalu perjalanannya pun berbelok ke arah barat menuju ka lemahwungkuk, disana ada sebuah rumah kakek tua yang bernama  Ki Gedeng Alang Alang.
Diceritakan Somadullah beristirahat dan sembahyang dalam rumah kakek tua itu. Selesai shalat, kakek tua mendekat dan berkata,"Hai anak muda,sebenarnya engkau siapa dan sedang apa disini?".
Berkatalah Somadullah,"Hamba santri Gunung Jati,nama hamba Somadullah, dapat perintah dari guru untuk membangun sebuah pemukiman. Besok kami akan mulai babad/ menebangi semua pepohonan baik yang besar maupun yang kecil, dan kalau diizinkan kami mau numpang mondok (tinggal) sementara waktu disini. Sang Kakek pun berkata,"Hai Somadullah, aku tidak punya anak dan kawan. Sekarang kalian bertiga aku angkat sebagai anakku, dan engkau aku beri nama Cakrabumi," Somadullah pun menerimanya.
Waktunya telah tiba, Ia bergegas memasuki hutan rawa belukar lalu menebangi pepohonan baik yang kecil maupun yang besar. Begitulah yang dilakukannya tiap hari sampai tidak terasa hutan pun sudah lapang, lalu ia tanami dengan palawija untuk membangun perkebunan. Kakek Tua pun sangat senang melihatnya, lalu Cakrabumi disuruh menangkap ikan dan rebon, Ia diberi waring (jala), sudu (alat penangkap ikan) dan jakung (perahu kecil). Cakrabumi menuruti perintah Kakek Tua, tiap malam mengendarai jakung untuk pergi menangkap ikan dan rebon (sejenis udang kecil), lalu paginya membabad hutan. Adapun palawija yang begitu banyak, sudah di kulakakan kepada tengkulak-tengkulak Palimanan dan Rajagaluh, orang-orang dari pegunungan berkumpul laksana semut. Rebon yang berhasil ditangkap ditumbuk dibikin terasi. Orang-orang yang ingin membeli saling berebut takut tidak kebagian. Kabarpun sampai ke tetangga desanya, orang-orang dari pegunungan banyak yang turut menanam, berkebun dan menetap. Cakrabumi beergembira karena sudah banyak tetangga/pendatang baru,mereka turut berkebun dan semua tanaman serba jadi.

Raja Galuh


Diceritakan Prabu Rajagaluh mengadakan sewaka/seba (pertemuan pejabat-pejabat pemerintahan), seluruh Bupati, Sentana Mantri dan para Gegedeng sudah berkumpul dihadapannya. Sang Prabu segera memanggil Ki Dipati Palimanan, yang bernama Gedeng Kiban. Berkata Sang Prabu,"Hai Dippati Palimanan, sekarang bawahanmu, tanah pantai yang jadi dedukuh/pemukiman, banyak orang yang berkebun dan ada nelayan yang menangkap ikan dan rebon, aku lebih terasih (menyukai) kepada tumbukan ikan rebon, agar diperiksa sampai jelas dan ditetapkan pajak bagi nelayan rebon itu, dalam setahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus gelondongan dan hitung ada berapa jiwa yang bermukim di pantai."
Ki Dipati mengucap sandika (siap menjalankan perintah), lalu pergi untuk memanggil punggawa pepitu(tujuhh orang mantri). Ki Dipati berkata, "Hai punggawa pepitu, sekarang periksalah dedukuh baru di pinggir pantai, ada berapa jumlah penduduk dan nelayan penagkap ikan rebon, seyogyanya diberi ketetapan pajak, tiap tahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus gelondongan. Harap diperiksa sampai jelas, karena Sang Prabu terasih sekali kepada bubukan rebon yang sudah gelondongan (bulat panjang)."
Ki Mantri pepitu mengucap sandika. Segera berangkat menuju ke pantai.
Diceritakan Cakrabumi bersama sang istri dan saang adik sedang menumbuk rebon di lumpang batu dengan halu batu. Orang yang mengkulak rebon berebut saling mendahului, berdesak-desakan sambil berceloteh."Oga age, geura age, geura bebek (cepat-cepatlah ditumbuk)!". Jadi masyur pedukuhan baru itu dengan sebutan Grage.
Tidak lama datanglah utusan palimanan, mantri pepitu memeriksa dedukuh/pemukiman baru itu, terhitung sudah ada 364 jiwa yang bermukim. Cakrabumi disuruh menghadap mereka. Berkata Jubir Mantri Pepitu, "Hai tukang penagkap rebon, engkau oleh perintah Sang Prabu diharuskan mengirim pajak, tiap-tiap tahun satu pikul bubukan rebon gelondongan, karena Sang Prabu lebih terasih maka aku beri nama bubukan gelondongan rebon itu terasi, karena Sang Prabu Rajagaluh lebih terasih sekali dan minta keterangannya,bagaimana cara membuat terasi itu."
Cakrabumi mengucap sandika. Adapun menangkapnya dengan jala tiap malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu digaramikemudian diperas, Setelah itu lalu dijemur, setelah kering lalu ditumbuk digelondongi, demikian. Adapun air perasannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu. Masakan perasan air rebon lebih enak, diberi nama petis blendrang. Ki Mantri berkata, "coba ingin tahu rasanya air rebon itu." Cakrabumi segera menyuruh istrinya memasak air perasan rebon. Setelah matang lalu dihidangkan kepada Ki Mantri pepitu. Mereka lalu makan bersama dengan lauk pauk petis blendrang, sambil saling berkata, bahwa air rebon lebih enak ketimbang gragenya (terasinya). Karenanya Ki Mantri pepitu mengumumkan kepada rakyat dedukuh baru itu, memberi nama dukuh Cirebon, kala waktu tahun 1447 M.
Pada tahun itu juga mantri pepitu mengumpulkan rakyat dukuh Cirebon untuk memilih seorang pikuat/kuwu Dukuh Cirebon, hasil mufakat rakyat Dukuh Cirebon, Kakek Tua Gedeng Alang Alang yang terpilih jadi pikuat/kuwu Dukuh Cirebon, Mantri pepitu menetapkan Ki Gedeng Alang Alang yang menjadi kuwu Dukuh Cirebon dan Ki Cakrabumi sebagai wakilnya. Setelah usai, Ki Mantri pepitu lalu pulang kembali ke Palimanan untuk memberi laporan kepada Ki Dipati Palimanan.